PRAPENUTUTAN DI KEPOLISIAN DAN KEJAKSAAN STUDI KASUS JESIKA KUMALA WONGSO
PRAPENUTUTAN DI KEPOLISIAN DAN KEJAKSAAN STUDI
KASUS JESIKA KUMALA WONGSO
Oleh: Hidayatullah
M. A. Nasution (101160011)
Latar Belakang
Mahkamah Agung (MA) pada tanggal 21
Juni 2017 mengadili perkara pembunuhan terhadap Wayan Mirna Salihin dengan
nomor perkara yaitu No. 498K/Pid/2017 dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso
(Jessica).[1] MA
dalam amar putusannya menyatakan menolak kasasi Jessica. Permohonan kasasi
diajukan lantaran permohonan banding Jessica telah ditolak sebelumnya di
Pengadilan Tinggi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (DKI Jakarta).
Seperti diketahui, Jessica merupakan
terpidana kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin (Mirna). Mirna meninggal
beberapa saat setelah ia meminum es kopi yang dibelikan oleh Jessica di sebuah
kafe daerah Jakarta Pusat pada awal tahun 2016.[2]
Hakim di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menetapkan bahwa Jessica terbukti
membunuh Mirna dengan memasukan racun sianida ke dalam es kopi tersebut.
Setelah Jessica melewati berbagai
rangkaian persidangan dari PN Jakarta Pusat hingga ke MA, Jessica Kumala Wongso
pada akhirnya dihukum 20 tahun penjara. Akan tetapi, penulis bukan mau membahas
tentang kasus Jessica setelah masuk ke ranah pengadilan. Namun, Penulis ingin
membahas tentang proses sebelum perkara itu sampai ke PN Jakarta Pusat.
Tepatnya di bagian prapenuntutan.
Dalam proses prapenuntutan di kasus
Jessica terjadi sebanyak empat kali bolak balik berkas antara lembaga kejaksaan
dan lembaga kepolisian.[3]
Alasan terjadinya bolak balik perkara Jessica yakni, karena penuntut umum
merasa alat buktinya masih lemah sehingga penyidik harus memperkuat atau
melengkapi alat bukti tersebut berdasarkan petunjuk penuntut umum. “Berkas yang
diterima dari penyidik masih ditemukan kekurangan sehingga dikembalikan lagi ke
Polda Metro Jaya untuk dilengkapi,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Sudung
Situmorang.[4]
Adapun alasan dari pengembalian berkas tersebut adalah agar berkasnya dapat
dibuktikan di pengadilan oleh jaksa penuntut umum. “Karena jaksa yang akan mempertanggungjawabkan
di pengadilan, tentu jaksa harus meyakini bahwa penyidik telah melengkapi
berkas Jessica, baik delik formiel dan materiel”.[5]
Rumusan Masalah
Berdasarkan
uraian di atas, maka pokok permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
1 1. Bagaimanakah
pengaturan di Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentang
penyelesaian perkara pidana pada tahap prapenuntutan?
2 2. Bagaimanakah
jaminan kepastian hukum terhadap kasus Jessica yang telah empat kali
bolak-balik berkas perkaranya antara lembaga kepolisian dan lembaga kejaksaan?
Pengertian
Hukum Acara Pidana
Sebelum membahas pertanyaan
penelitian di atas penulis ingin memberitahukan terlebih dahulu hal-hal dasar
untuk bisa menjawab penelitian ini. Adapun prapenuntutan bisa kita temui
prosesnya dalam hukum acara pidana. Menurut Sudarto Gautama, Hukum Acara Pidana
adalah aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan oleh
para penegak hukum dan pihak-pihak lain yang terlibat di dalamnya apabila ada
persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar. [6]
Fungsi hukum pidana formal
atau hukum acara pidana adalah menegakkan/menjalankan hukum pidana materiil.
Artinya memberikan peraturan cara bagaimana negara dengan menggunakan
alat-alatnya dapat mewujudkan wewenangnya untuk menghukum atau membebaskan
seseorang dari pemidanaan.[7] Tugas pokok dari hukum acara pidana adalah:[8]
a) Mencari kebenaran materiil. (kebenaran
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan
ketetapan-ketetapan hukum acara pidana secara jujur, tepat dengan tujuan untuk
mencari siapa pelaku yang dapat didakwakan melanggar hukum pidana dan
selanjutnya minta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menentukan adakah
bukti suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah pelakunya bisa
dipersalahkan;
b)
Pengambilan putusan oleh hakim;
c) Melaksanakan putusan Hakim Ruang lingkup
acara pidana: tata cara peradilan termasuk pengkhususannya misalnya peradilan
anak, ekonomi, dan lain-lain.Tujuan hukum pidana: mencari kebenaran materiil
sekaligus perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia.
Penyelidikan
dan Penyidikan.
Proses yang harus dilalui
berdasarkan KUHAP sebelum berkas perkara dapat dilimpahkan ke pengadilan yaitu
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. Mengenai penyelidikan dan penyidikan,
M. Yahya Harahap, dalam bukunya
yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan
Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa pengertian dalam KUHAP,
“penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan
tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri atau
terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari fungsi penyidikan.
Adapun pengertian dari
penyelidikan dan penyelidik dapat kita temui di pasal 1 angka angka 5 dan angka
4 KUHAP.
Pasal 1 angka 5 KUHAP “Penyelidikan adalah serangkaian
tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga
sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Pasal 1 angka 4 KUHAP “Penyelidik adalah pejabat polisi
negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk
melakukan penyelidikan.”
Lebih lanjut, Yahya Harahap
menyatakan bahwa sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu
penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan
“bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut
penyidikan. Penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan”
sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti
suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.
Yahya Harahap (Ibid,
hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan
tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik,
untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat
manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan
atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai
landasan tindak lanjut penyidikan.
Adapun pengertian dari
penyidikan dan penyidik dapat kita temui di pasal 1 angka 2 dan anka 1 KUHAP.
Pasal 1 angka 2 KUHAP“Penyidikan adalah serangkaian
tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang
ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Pasal 1 angka 1 KUHAP “Penyidik adalah pejabat polisi
negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.”
Penuntut
Umum dan Penuntutan.
Pengertian Penuntut umum dengan mengacu pasal 1 angka 6 KUHAP yakni, jaksa yang diberi wewenang untuk membuat surat dakwaan,
menghadiri persidangan dan melakukan penuntutan dalam perkara pidana. Selain
melakukan penuntutan, Penuntut Umum menurut KUHAP bisa melaksanakan putusan
hakim yang telah
berkekuatan hukum tetap.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, Pengertian
Penuntutan adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa dengan berkas
perkaranya kepada hakim, dengan permohonan agar hakim memeriksa dan kemudian
memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa.[9]
Pengertian Penuntutan Menurut pasal
1 butir 7 KUHAP yaitu “Penuntutan adalah suatu tindakan dari penuntut umum untuk
melimpahkan perkara pidana kepada pengadilan negeri yang berwenang, yang tata
caranya telah diatur di dalam UU berdasarkan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim dalam sidang pengadilan”. Artinya adalah penuntut umum
berwenang untuk melakukan penuntutan terhadap siapa saja yang didakwa melakukan
suatu delik dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara kepada pengadilan
yang berwenang mengadilinya.
Kewenangan
Lembaga Kepolisian dan Lembaga Kejaksaan Dalam KUHAP
Penyelesaian
suatu perkara pidana oleh aparat penegak hukum telah mempunyai wewenang dari
masing-masing instansi penegak hukum. Kepolisian di dalam KUHAP mempunyai kewenangan
melakukan penyelidikan dan penyidikan. Kejaksaan memiliki wewenang sebagai
penuntut umum yaitu membuat surat
dakwaan, menghadiri persidangan dan melakukan penuntutan dalam perkara pidana.
Hubungan antara Kepolisian sebagai
instansi penyidik dengan Kejaksaan sebagai instansi Penuntut Umum di dalam
KUHAP telah memberi landasan diferensiasi fungsi secara instansional. Hubungan
tersebut berupa pemberian kewenangan kepada Kepolisian sebagai instansi
penyidik tunggal tanpa campur tangan Jaksa sebagai penyidik atau penyidik
lanjutan maupun sebagai koodinator alat-alat penyidik. Selain itu Jaksa
dijernihkan wewenangnya sebagai instansi Penuntut Umum, yang mana Jaksa hanya
berwenang untuk melakukan penuntutan saja dan tidak dibenarkan lagi ikut campur
tangan dalam proses penyidikan.[10]
Prapenuntutan
Dalam KUHAP
Prapenuntutan adalah proses
yang mempertemukan kepolisian dan kejaksaan untuk saling berkoordinasi. Proses
prapenuntutan berada di tahapan setelah penyidikan tetapi sebelum penuntutan.
Definisi dari Prapenuntutan itu sendiri yakni pengembalian berkas perkara dari
penuntut umum kepada penyidik karena penuntut umum berpendapat bahwa hasil
penyidikan tersebut ternyata kurang lengkap disertai petunjuk untuk
melengkapinya.[11]
Penyidikan dianggap telah selesai apabila dalam waktu 14 (empat belas) hari
penuntut umum tidak mengembalikan berkas perkara.
Berdasarkan pasal 14 KUHAP
menjelaskan “prapenuntutan diadakan apabila ada kekurangan pada penyidikan
dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat (3) dan (4), dengan memberi
petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik”. Sejalan dengan
peraturan jaksa No. 36 tahun 2011 yang menjelaskan prapenuntutan adalah tindakan
penuntut umum untuk mengikuti perkembangan penyidikan setelah menerima
pemberitahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti
kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta
memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat rnenentukan apakah
berkas perkara tersebut lengkap atau tidak.
Artinya prapenuntutan merupakan
tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima
pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) oleh penyidik. Guna untuk
mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang
diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk yang dilengkapi penyidik untuk
dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke
tahap penuntutan.[1]
Kemudian penyidik wajib segera melakukan penyidikan tambahan sesuai dengan
petunjuk penuntut umum.
Prapenuntutan dalam
perkembangannya masih mempunyai masalah sehingga tujuan adanya KUHAP yaitu
untuk melindungi harkat dan martabat setiap manusia belum bisa tercapai. Oleh
karenanya masyarakat yang merasa dirugikan karena masalah dalam prapenuntutan
ini mengajukan Judicial Review (JR)
ke Mahkamah Konstitutsi (MK).[12]
Tepatnya Pasal 109 ayat (1) KUHAP yang berbunyi “Dalam hal
penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak
pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum. ”Berdasarkan
putusan MK No. 130/PUU-XIII/2015 menyatakan pasal 109 ayat (1) bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat,
kecuali dimaknai penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan SPDP penyidikan
kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7
hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan.
Penulis sangat
mengapresiasi putusan MK tersebut. Adanya kewajiban penyidik memberitahukan dan
menyerahkan SPDP kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor dalam waktu
paling lambat 7 hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan. Membuat proses
penyidikan tersebut berada dalam pengendalian penuntut umum dan pemantauan
terlapor dan korban/pelapor. Melihat putusan MK ini penulis merasa bahwa
semangat untuk menghadirkan kepastian hukum bagi terlapor maupun pelapor agar
perkaranya dapat segera diselesaikan secepat mungkin telah dihadirkan dalam putusan
ini. Akan tetapi walaupun sudah ada putusan MK ini masih saja ada kelemahan
dari proses prapenuntutan.
Andi Hamzah melihat ada
kelemahan dalam tahapan prapenuntutan yaitu, kepolisian dan kejaksaan kurang
koordinasi, sehingga berkas dan tersangka seolah dipimpong.[13]
Menurut Andi, praktik demikian tidak sejalan dengan esensi peradilan pidana
terpadu (integrated criminal justice system). Idealnya, sejak penyidik
menerbitkan SPDP, jaksa sudah intens terlibat mendampingi proses penyidikan,
sehingga sejak awal jaksa sudah bisa memantau kelemahan proses penyidikan, atau
mengetahui siapa lagi saksi yang perlu dimintai keterangan.[14]
Melihat kasus Jessica
sangat terlihat jelas buruknya koordinasi antara kejaksaan dan kepolisian
karena berkas perkara Jessica telah bolak balik sebanyak empat kali di kedua
lembaga itu. Adapun alasan penuntut umum bolak balik berkas bisa terjadi
sebanyak empat kali karena penuntut umum masih merasa adanya kekurangan dalam
hasil penyelidikan. Oleh karenanya dikembalikan ke penyidik untuk dilengkapi. Hal
ini tidak memberikan kepastian hukum kepada pihak Mirna selaku korban dan pihak
Jessica selaku tersangka dalam perkara tindak pidana pembunuhan. Padahal
kepastian hukum telah dijamin di dalam UUD, tetapi mereka (pihak Mirna dan
Jessica) tidak mengetahui kapan perkaranya akan dapat dilimpahkan ke pengadilan.
Berarti tujuan dari pembentukan KUHAP yaitu untuk melindung hak asasi manusia
belum sepenuhnya dihadirkan dalam proses prapenuntutan.
Kemudian penetapan status
tersangka Jessica oleh penyidik menurut penulis memiliki masalah. Berdasarkan
pasal 1 angka 14 KUHAP yaitu seseorang yang karena perbuatannya atau keadaanya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Akan
tetapi, Frasa bukti permulaan dalam pasal 1 angka 14 KUHAP telah diputus MK
dalam perkara No. 21/PUU-XII/2014 bertentangan dengan UUD 1945, kecuali
dimaknai sebagai minimum 2 alat bukti yang termuat dalam pasal 184 KUHAP.
Adapun alat bukti berdasarkan pasal 184 yaitu keterangan saksi, keterangan
ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Menurut penulis alat bukti
jangan hanya dimaknai sebagai jenis-jenis dari alat bukti sebagaimana pasal 184
KUHAP, tetapi alat bukti juga harus mempunyai korelasi dengan peristiwa pidana.
Hal inilah yang menjadi masalah dalam prapenuntutan yaitu standar kejaksaan
memaknai 2 alat bukti berbeda dengan kepolisian.
Menurut Stephen C. thaman Jaksa terlatih secara hukum untuk membawa kasus ke
pengadilan. Jaksa akan bisa menentukan apakah bukti-bukti yang tersedia memadai
untuk dapat membawa kasusnya ke pengadilan.[15] Namun
polisi adalah aparat penegak
hukum tetapi tidak mempunyai latar belakang pengetahuan hukum yang cukup dalam
penegakan hukum. Oleh karenanya menurut penulis merupakan hal yang tidak aneh
ketika kasus Jessica berkasnya bolak balik hingga empat kali di kejaksaan dan
kepolisian.
Penulis juga merasa kecewa karena Penjabaran
prinsip peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan yang dipertegas dalam Pasal
50 ayat (3) KUHAP, yang memberikan hak yang sah menurut hukum dan undang-undang
kepada tersangka/terdakwa untuk segera diadili dan mendapat putusan pengadilan
(speedy trial right). Akan tetapi, Prinsip itu dalam kasus Jessica seperti
tenggelam. Karena kelemahan koordinasi antara kepolisian dan kejaksaan begitu
buruk. Standar alat bukti dari hasil penyidikan oleh penyidik berbeda dengan
kejaksaan. Akibatnya bolak balik berkas Jesika hingga empat kali di kepolisian
dan kejaksaan merupakan suatu hal yang harus diperhatikan, sehingga harus ada
regulasi yang membatasi berapa kali perkara dapat dilimpahkan dari penuntut
umum ke penyidik dan perlunya perbaikan koordinasi antara kejaksaan dan
kepolisian
Daftar Referensi
Buku
·
Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.
·
Sofyan, Andi Muhammad dan Abd. Asis. Hukum Acara Pidana Suatu Pengantar. Jakarta:
Kencana, 2014.
·
Lembaga Bantuan Hukum Surabaya. Hukum Acara Pidana Dalam Diskusi.
Surabaya: Bina Ilmu, 1982.
·
Utrech. Rangkuman
Sari Kuliah Hukum Pidana II. Bandung: PT Penerbitan Universitas bandung,
1985.
·
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalah Dan Penerapan Kuhap, Jakarta: Sinar Grafika
2006
Online
·
Puspita, Sherly Puspita. “Mahkmah Agung Tolak
Kasasi Jesika Kumala Wongso”. Kompas.com,
21 Juni 2017 http://megapolitan.kompas.com/read/2017/06/21/23221601/mahkamah.agung.tolak.kasasi.jessica.kumala.wongso
.
·
Pratama,
Akhdi Martin.“Perjalanan Kasus Yang Menjerat Jessica Kumala Wongso”. Kompas.com, 27 Mei 2017. http://megapolitan.kompas.com/read/2016/05/27/06412451/perjalanan.kasus.yang.menjerat.jessica.kumala.wongso.
·
Arisma,
Yulya Arisma. Penyelesaian Perkara
Pidana Pada Tahap Penuntutan. Skripsi. http://download.portalgaruda.org/article.php?article=58730&val=4136
·
“7 Hari Penyerahan Spdp Ke Penuntut
Umum”. Hukumonline.com, 11 Januari 2017 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58763386dea5a/mk-tetapkan-7-hari-penyerahan-spdp-ke-penuntut-umum
·
“Empat Kali Sudah Bolak Balik Berkas Jessica
dikembalikan”, Poskota.com, 17 Mei
2016, diakses tanggal 27 Desember 2017, http://poskotanews.com/2016/05/17/empat-kali-sudah-bolak-balik-berkas-jessica-dikembalikan/
·
“RUU KUHAP Bakal Hapus Prapenututan”. Hukumonline.com, 10 Desember 2017 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b208a7dd85bc/prapenuntutan.
[1]
Sherly Puspita, “Mahkmah Agung Tolak Kasasi Jesika Kumala Wongso”, Kompas.com, 21 Juni 2017, diakses tanggal 27 Desember 2017 http://megapolitan.kompas.com/read/2017/06/21/23221601/mahkamah.agung.tolak.kasasi.jessica.kumala.wongso
.
[2] Id
[3]
Akhdi Martin Pratama “Perjalanan Kasus Yang Menjerat Jessica Kumala Wongso”, Kompas.com, 27 Mei 2017, Diakses tanggal
27 Desember 2017 http://megapolitan.kompas.com/read/2016/05/27/06412451/perjalanan.kasus.yang.menjerat.jessica.kumala.wongso.
[4]
“Empat Kali Sudah Bolak Balik Berkas Jessica dikembalikan”, Poskota.com, 17 Mei 2016, diakses
tanggal 27 Desember 2017, http://poskotanews.com/2016/05/17/empat-kali-sudah-bolak-balik-berkas-jessica-dikembalikan/
[5] Id
[6]
Utrech, Rangkuman Sari Kuliah Hukum
Pidana II, Bandung: PT Penerbitan Universitas bandung, 1985, Hlm. 30
[7] Andi
Muhammad Sofyan dan Abd. Asis, Hukum
Acara Pidana Suatu Pengantar, Jakarta: Kencana, 2014, Hlm. 6
[8] Id, Hlm. 7
[9]
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia,
Jakarta: Sinar Grafika, 2008,Hlm. 162
[10] Hukum
Acara Pidana Dalam Diskusi, Lembaga
Bantuan hukum Surabaya, Surabaya: Bina Ilmu, 1982, Hlm 32
[11] Yulya
Arisma, Penyelesaian Perkara Pidana Pada
Tahap Penuntutan, Skripsi, Diakses tanggal 27 Desember 2017 http://download.portalgaruda.org/article.php?article=58730&val=4136
[12] “7
Hari Penyerahan Spdp Ke Penuntut Umum”,
Hukumonline.com, 11 Januari 2017,
diakses tanggal 27 Desember 2017 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58763386dea5a/mk-tetapkan-7-hari-penyerahan-spdp-ke-penuntut-umum
[13]
“RUU KUHAP Bakal Hapus Prapenututan, Hukumonline.com,
10 Desember 2017, diakses tanggal 27 Desember 2017 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4b208a7dd85bc/prapenuntutan.
[14] Id
Komentar
Posting Komentar